Jumat, 13 April 2012

Kajian Pustaka


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Metakognitif

1. Pengertian Metakognitif

Metakognitif merujuk pada berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) yang meliputi kontrol aktif pada proses kognitif yang digunakan selama belajar (Livingstone, 2003). Secara sederhana metakognitif didefinisikan sebagai “berpikir tentang berpikir”.Metakognisi merupakan refleksi terhadap pikiran, berfikir terhadap pikirannya sendiri (Janssens & de Klein, 2005: 73). Menurut Flavell (1985: 104), disebut metakognisi karena makna intinya adalah “cognition about cognition” atau berfikir terhadap proses berfikirnya sendiri. Metakognisi mencakup pengetahuan dan aktivitas kognitif yang menjadikan aktivitas kognitif itu sebagai objeknya.Flavell mengemukakan konsep tentang kemampuan metakognitif sebagai pengetahuan metakognitif (metacognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif (metacognitive experience).

Margaret W. Matlin (1994) dalam Desmita (2006) menyatakan bahwa metakognitif adalah “knowledge and awareness about cognitive processes-or our thoughts about thingking”. Metakognitif merupakan sebuah pengetahuan dan kesadaran tentang proses kognitif tentang cara berpikir individu itu sendiri. Menurut Livingston (1997),“Metacognition” is often simply defined as “thinking about thingking”. Metakognitif adalah suatu kemampuan seseorang memikirkan apa yang dipikirnya. Metakognitif menekankan pada upaya menelaah tentang sesuatu. Metakognitif menunjukkan pada upaya pengendalian kesadaran yang disengaja.

Dari beberapa definisi para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa metakognitif adalah sebuah pengaturan proses kognitif yang secara sadar dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu atau pengetahuan yang tentang cara berpikirnya sendiri dan cara kerjanya. Metakognitif merupakan suatu proses menggugah rasa ingin tahu dalam merenungkan proses kognitif dan strategi yang digunakan dalam proses pengolahan kognitifnya sendiri.Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah, Kramarski dan Mevarech (2003: 284) berpendapat bahwa pengetahuan tentang proses pemecahan masalah, dan kemampuan untuk mengontrol dan mengatur proses pemecahan masalah merupakan pengetahuan metakognitif secara umum. Menurut Schoenfeld (1992: 347), pengetahuan seseorang tentang proses berfikirnya sendiri termasuk dalam pengetahuan metakognitif. Selanjutnya, Schoenfeld mengemukakan konsep metakognisi Flavell dalam pengertian yang bersifat fungsional, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif seseorang tentang proses kognitifnya, 2) prosedur pengaturan diri sendiri, mencakup monitoring dan pengambilan keputusan langsung, dan 3) keyakinan dan kesungguhan serta pengaruhnya terhadap unjuk kerjanya.

Desmita (2009) menekankan bahwa metakognitif tidak sama dengan proses kognitif atau proses berpikir (seperti membuat perbandingan, ramalan, menilai, membuat sintesis atau menganalisis. Tetapi metakognitif cenderung merupakan suatu kemampuan dimana individu berdiri di luar kepalanya dan mencoba untuk memahami proses kognitif yang dilakukannya dengan melibatkan komponen-komponen perencanaan (functional planning), pengontrolan (self-monitoring), dan evaluasi (self-evaluation).

Mengetahui metakognisi seseorang dimulai dengan membangun kesadaran di kalangan pelajar yang memiliki metakognisi dalam dirinya, berbeda dari kognisi, dan dapat meningkat­kan keberhasilan akademis.Sebuah strategi yang fleksibel dapat memungkinkan individu untuk merencanakan, memantau, dan mengevaluasi pembelajaran mereka.

2. Aspek Metakognisi

Ada dua aspek metakognisi, kesadaran metakognitif dan keterampilan metakognitif.Terkait dengan perannya, sangat penting untuk mengukur skor kesadaran metakognitif serta keterampilan metakognitif. Pada saat ini, terkait dengan Inventory Kesadaran Metakognitif (MAI) yang biasanya digunakan untuk mengukur skor kesadaran metakognitif.(AD. Corebima, 2006)

The Metacognitive Awareness Inventory (MAI) dikembangkan oleh Schraw dan Dennison (1994) untuk menilai pengetahuan metakognitif dan regulasi metakognitif yang biasanya disebut sebagai pengetahuan tentang faktor kognisi (Knowledge of Cognition) dan ketentuan faktor kognisi (Regulation of Cognition). Sebuah korelasi yang kuat antara faktor-faktor ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan regulasi dapat bekerja bersama-sama untuk membantu siswa menjadi pembelajar mandiri (self-regulated learners). Di dalam Metacognitive Awareness Inventory (MAI), suatu pengetahuan tentang kognisi siswa dibedakan menjadi 3, diantaranya :

a. Declarative Knowledge (Pengetahuan Deklaratif)

Pengetahuan faktual pembelajar dibutuhkan sebelum dapat digunakan untuk memproses atau menggunakan pemikiran kritis yang terkait dengan topik. Mengetahui tentang, apa, atau bahwa. Pengetahuan tentang keterampilan seseorang, sumber daya intelektual, dan kemampuan sebagai seorang pelajar.Siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui presentasi, demonstrasi, dan diskusi.

b. Procedural Knowledge (Pengetahuan Prosedural)

Penerapan pengetahuan untuk tujuan menyelesaikan prosedur atau proses. Pengetahuan tentang bagaimana menerapkan prosedur belajar (misalnya membuat suatu strategi). Memerlukan siswa mengetahui proses serta kapan harus menerapkan proses dalam berbagai situasi. Siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui penemuan, belajar kooperatif, dan pemecahan masalah.

c. Conditional Knowledge (Pengetahuan Kondisional)

Penentuan bawah bagaimana keadaan suatu proses tertentu atau suatu kemampuan harus ditransfer. Pengetahuan tentang kapan dan mengapa menggunakan prosedur pembelajaran.Aplikasi pengetahuan deklaratif dan procedural disajikan dengan kondisi tertentu.Siswa dapat memperoleh pengetahuan melalui simulasi.

3. Komponen Metakognitif

Regulation of Cognition dibagi menjadi 5 komponen, diantaranya :

a. Planning (Perencanaan)

Perencanaan, penetapan tujuan, dan mengalokasikan sumber daya sebelumbelajar.

b. Information Management Strategies (Strategi Manajemen Informasi)

Keterampilan dan urutan strategi yang digunakan untuk memproses informasilebih efisien (misalnya,pengorganisasian, menguraikan,meringkas, selektif fokus)

c. Comprehension Monitoring (Pemahaman Pemantauan)

Penilaian menggunakan pembelajaran atau strategi seseorangdebugging

d. Strategi Debugging

Strategi yang digunakan untuk memperbaiki pemahaman dan kinerjakesalahan.Evaluasi analisis efektivitas kinerja dan strategi setelahpembelajaran dilakukan.

PISA (2000) dalam Suratno (2009) mendukung teori yang dikemukan oleh Desmita dengan menjabarkan komponen-komponen sebagai berikut:

a. Perencanaan diri (self-planning)

Dengan indikator yaitu tujuan belajar yang akan dicapai, waktu yang digunakan untuk menyelesaikan tugas belajar, pengetahuan awal yang relevan, dan strategi kognisi yang akan digunakan.

b. Pemantauan diri (self-monitoring)

Dengan indikator pemantauan ketercapaian tujuan belajar, pemantauan waktu yang digunakan, pemantauan relevansi materi pengetahuan awal dengan materi pelajaran baru, dan pemantauan strategi kognisi yang sedang digunakan.

c. Evaluasi diri (self-evaluation)

Dengan indikator yaitu evaluasi ketercapaian tujuan belajar, evaluasi waktu yang digunakan, evaluasi relevansi pengetahuan awal dengan materi pelajaran baru, dan evaluasi strategi-strategi kognisi yang telah digunakan.

4. Pengelompokkan Metakognitif

Flavell (1979) menyampaikan secara pasti pengelompokan metakognitif menjadi 4 kelompok, yakni sebagai berikut.

a. Metacognitive Knowledge(Pengetahuan Metakognitif)

Pengetahuan Metakognitif yang didefinisikan sebagai pengetahuan seseorang atau keyakinan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kegiatan kognitif. Perbedaan antara kognitif dan pengetahuan metakognitif mungkin terletak pada bagaimana informasi tersebut digunakan, lebih dari perbedaan mendasar dalam proses. Flavell (dalam Robinson, 1983: 115; Livingstone, 1997:1) menegaskan bahwa pengetahuan metakognitf merupakan pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif.

Flavell menggambarkan tiga kategori di mana individu memilikipengetahuan metakognitif diantaranya sebagai berikut.

1) Person Variable

Person variabledari pengetahuan metakognitif ini termasuk suatu pengetahuan individu dan keyakinan tentang dirinya sebagai seorang pemikir atau pelajar dan apa yang dipercaya tentang proses berpikir orang lain.

2) Task Variable Metacognitive Knowledge

Meliputi semua informasi tentang tugas yang diusulkan yang tersedia untuk siswa (Flavell, 1979). Pengetahuan ini menuntun individu dalam manajemen tugas, dan memberikan informasi tentang tingkat keberhasilan yang cenderung dihasilkan.

3) Strategi Variable Metacogntive knowledge

Mengidentifikasi tujuan dan sub-tujuan dan seleksi proses kognitif untuk digunakan dalam mencapai keberhasilan mereka (Flavell, 1979). Pengetahuan metakognitif tidak mendasar perbedaannya dengan pengetahuan lain, namun obyeknya berbeda dengan pengetahuan lainnya.

b. Metacognitive Experiences.

Menurut Flavell (dalam Hacker, tanpa tahun:4) dan Brown (dalam Livingstone, 1997:1), pengalaman-pengalaman metakognitif melibatkan strategi-strategi metakognitif atau pengaturan metakognitif. Strategi-strategi metakognitif merupakan proses-proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai. Proses-proses ini terdiri dari perencanaan dan pemantauan aktivitas-aktivitas kognitif serta evaluasi terhadap hasil aktivitas-aktivitas ini.

c. Metacognitive Task and Goals

Adalah hasil yang diinginkan atau tujuan usaha kognitif. Ini adalah kategori ketiga utama Flavell. Tujuan dan tugas meliputi pemahaman, melakukan fakta ke memori, atau menghasilkan sesuatu, seperti dokumen tertulis atau jawaban untuk suatu masalah atau hanya meningkatkan pengetahuan seseorang tentang sesuatu. Pencapaian tujuan sangat menarik pada baik pengetahuan metakognitif dan pengalaman metakognitif untuk berhasil menyelesaikannya (Flavell, 1979).

d.Strategies or Actions Strategi Metacognitif(Strategi Metakognitif)

Merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif sendiri dan untuk memastikan bahwa tujuan kognitif (misalnya, memecahkan masalah pada Kompetensi Kejurusan, menulis kalimat yang efektif, pemahaman bahan bacaan) telah dipenuhi. Seseorang dengan keterampilan metakognitif yang baik dan kesadaran menggunakan proses tersebut untuk mengawasi proses belajar sendiri, merencanakan dan memantau kegiatan kognitif yang sedang berlangsung, dan untuk membandingkan hasil kognitif dengan standar internal atau eksternal.

Ada 3 strategi metakognitif yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar siswa, diantaranya:

1) Tahap proses sadar belajar

Meliputi proses untuk menetapkan tujuan belajar, mempertimbangkan sumber belajar yang akan dan dapat diakses (contoh: menggunakan buku teks, mencari buku sumber di perpustakaan, mengakses internet di lab. komputer, atau belajar di tempat sunyi), menentukan bagaimana kinerja terbaik siswa akan dievaluasi, mempertimbangkan tingkat motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar siswa.

2) Tahap merencanakan belajar

Meliputiproses memperkirakan waktu yangdibutuhkan untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal serta menentukan skala prioritas dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran, mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai strategi belajar (outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).

3) Tahap monitoring dan refleksi belajar

Meliputiproses merefleksikan proses belajar, memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri (self-testing, seperti mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna dan bermanfaat bagi saya?, bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar menguasai materi ini?), menjaga konsentrasi dan motivasi tinggi dalam belajar.

Pengelompokan-pengelompokan tersebut dinyatakan dalam Gambar 2.1 di bawah ini.


Gambar 2.1 Mapping Monitoring (Sumber:http://www.lifecircles-inc.com/Learningtheories/constructivism/flavell.html)

5. Manfaat Metakognitif

Berikut ini beberapa manfaat dari keterampilan metakognitif yang dikemukakan oleh para ahli.

a. Strategi metakognitif dapat membantu siswa untuk belajar bagaimana ia berpikir tentang proses-proses belajar mereka sendiri dan menerapkan strategi belajar khusus untuk memikirkan sendiri tugas-tugas yang sulit (Nelson, 1992 dalam Andayani, 2008)

b. Eggen dan Kauchak dalam Corebima (2006) menyatakan bahwa keterampilan metakognitif dapat membantu siswa menjadi self-regulated learners yang bertanggung jawab terhadap kemajuan belajarnya sendiri dan mengadaptasi strategi belajarnya mencapai tuntutan tugas.

c. Keterampilan metakognitif diyakini memegang peranan penting pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi, perhatian (attention), ingatan (memory), dan pemecahan masalah (Howard, 2004 dalam Corebima, 2006).

d. Keterampilan metakognitif siswa penting dikembangkan untuk tujuan agar siswa memahami bagaimana tugas itu dilaksanakan (Rivers, 2001 dan Schraw, 1998 dalam Hadi, 2007).

e. Pengembangan keterampilan metakognitif siswa ditujukan agar siswa dapat memantau perkembangan belajarnya sendiri (Flavell, Gardner dan Alexander dalam Slavin, 1993).

f. Menurut Marzano dalam Corebima (2006) manfaat strategi metakognitif bagi guru dan siswa adalah menekankan monitoring diri dan tanggung jawab siswa (monitoring diri merupakan kemampuan berpikir tinggi).

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para ahli di atas tidak dapat disangkal manfaat besar yang diperoleh dengan mengembangkan keterampilan metakognitif siswa melalui pembelajaran di kelas.

B. Metode PembelajaranTPS (Think Pair Share)

1. Pengertian TPS (Think Pair Share)

Metode ini dikembangkan oleh Frank Lyman dan kawan-kawan dari Universitas Maryland yang mampu mengubah asumsi bahwa metode resitasi dan diskusi perlu diselenggarakan dalam setting kelompok kelas secara keseluruhan. Metode Think Pair Share memberikan kepada para siswa untuk berpikir dan merespon serta saling bantu satu sama lain. Sebagai contoh, seorang guru baru saja menyelesaikan suatu sajian pendek/para siswa telah selesai membaca suatu tugas. Selanjutnya, guru meminta kepada para siswa untuk menyadari secara lebih serius mengenai apayang telah dijelaskan oleh guru/apa yang telah dibaca. Guru tersebut lebih memilih metode Think Pair Share daripada metode tanya jawab untuk kelompok secara keseluruhan (whole-group question and answer).

Menurut Lyman dan kawan-kawanThink Pair Share menggunakan Tahap sebagai berikut.

a. Langkah1- berpikir (thinking)

Guru mengajukan pertanyaan/isu yang terkait dengan pelajaran dan siswa diberi waktu satu menit untuk berpikir sendiri mengenai jawaban/isu tersebut.

b. Langkah2- berpasangan (pairing)

Selanjutnya guru meminta kepada siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan mengenai apa yang telah dipikirkan. Interaksi selama periode ini dapat menghasilkan jawaban bersama jika suatu pertanyaan telah diajukan/penyampaian ide bersama jika suatu isu khusus telah diidentifikasi.Biasanya guru mengijinkan tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.

c. Langkah3–berbagi(sharing)

Pada langkah akhir ini guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi/ bekerjasama dengan kelas secara keseluruhan mengenai apa yang telah mereka bicarakan. Pada langkah ini akan menjadi efektif jika guru berkeliling kelas dari pasangan yang satu kepasangan yang lain, sehingga seperempat/separo dari pasangan pasangan tersebut memperoleh kesempatan untuk melaporkan,Arends (1997) disadur Tjokrodihardjo (2003).

Menurut (FRANK LYMAN, 1985) , langkah-langkah pembelajaran Think Pair Share adalah sebagai berikut:

a. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai

b. Siswa diminta untuk berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan guru

c. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (kelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing.

d. Guru memimpin pleno kecil diskusi, tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya.

e. Berawal dari kegiatan tersebut, Guru mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum diungkapkan para siswa.

f. Guru memberi kesimpulan

g. Penutup

C. Jurnal Belajar (Learning Journal)

1. Pengertian Jurnal Belajar

Jurnal belajar, sebagai istilah yang diterjemahkan dari learning journal yakni merupakan dokumen yang secara terus-menerus bertambah dan berkembang.Biasanya ditulis oleh pembelajar, sebagai rekaman terhadap perkembangan materi yang sedang dipelajari.Sebenarnya, bisa saja terdapat beberapa jurnal sesuai dengan mata pelajaran yang diikuti atau bahkan ada jurnal yang berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari. Sekarang ini yang banyak berkembang adalah jurnal belajar secara online, di mana peserta dididk dapat melakukan dialog (seperti dalam bentuk forum), bahkan peserta didik dari sekolah lain pun boleh ikut bergabung.

Jurnal belajar adalah wadah yang memuat hasil refleksi dalam bidang pembelajaran yang diperuntukan bagi peserta didik.Guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah dapat membacanya sebagai bahan masukan untuk melihat kemampuan peserta didik dalam bidang yang dipelajarinya.

Peserta didik mengisinya dengan hasil bacaan, hasil diskusi, refleksi terhadap temuan dalam pembelajaran, hasil pengamatan, hasil abstraksi atau apa saja yang berkaitan dengan pembelajaran di sekolah. Bila perlu bukan hanya peserta didik yang mempunyai karya yang berkualitas dapat mengisinya. Akan tetapi kesempatan diberikan kepada semua peserta didik, walaupun menurut guru apa yang dituliskan peserta didik itu pada awalnya hanya cerita yang kelihatannya kurang bermakna bagi guru. Jurnal belajar tidak hanya berorientasi pada pengembangan kemampuan akademis semata akan tetapi diharapkan melalui kebiasaan menuliskan pengalaman belajar, peserta didik tersebut terbiasa mengekspresikan perasaan, pemikiran ataupun harapannya tentang pembelajaran yang diberikan guru. Jadi lebih dekat sebagai alat untuk komunikasi dan diseminasi informasi, temuan, pemikiran, hasil pengamatan tentang pembelajaran.Setiap peserta didik dapat mengisi jurnal belajar, meskipun belum mampu menulis dengan kriteria ilmiah.Isi dari Jurnal belajar tidak harus dalam bentuk artikel hasil penelitian, hasil telaahan yang memenuhi kriteria ilmiah.Akan tetapi dapat berupa kalimat-kalimat sederhana, entah itu penyelesaian soal mata pelajaran tertentu atau bahkan hanya ungkapan bahwa peserta didik itu senang belajar hari itu karena guru memberi kesempatan ke luar kelas untuk mengamati tanaman di sekitar sekolah.

Jurnal belajar bukan ringkasan materi pembelajaran, tetapi lebih fokus pada refleksi peserta didik terhadap apa yang telah dibaca atau yang sedang dipelajari, juga bukan merupakan katalog belajar, karena dalam katalog belajar biasanya ditulis waktu dan tanggal mengajar atau dipelajari. Suatu katalog merupakan rekaman peristiwa, akan tetapi jurnal belajar merupakan rekaman refleksi dan hasil pengamatan dan pemikiran peserta didik.

Jurnal belajar tidak sama dengan karya tulis ilmiah yang disusun mengikuti kriteria atau persyaratan tata tulis dan bahasa yang digunakan. Jurnal belajar pada umumnya ditulis sebagai apresiasi terhadap pembelajaran. Komentar peserta didik terhadap pembelajaran.Komentar tersebut bisa jadi karena tertarik, ada masalah karena kurang mengerti sampai dengan adanya temuan baru dari peserta didik itu sendiri, yang mungkin berbeda dengan yang diajarkan gurunya. Jurnal belajar tidak sama dengan buku harian, yang boleh diisi “suka-suka” oleh pemiliknya. Namun ada kemiripan dengan diary atau buku harian tersebut, jurnal belajar diisi peserta didik pada waktu yang disediakan oleh guru dan hanya berkaitan dengan pembelajaran di sekolah, tidak diisi dengan masalah kucingnya yang sedang melakhirkan di bawah tempat tidur.

2. Tujuan dan Manfaat Jurnal Belajar

Tujuan menulis jurnal belajar adalah untuk mengkomunikasikan: pengalaman belajar, materi yang telah dipahami, materi yang belum dipahami dengan menyebutkan alasannya, usaha atau cara untuk mengatasi masalah yang dihadapi sampai dengan hasil /upaya pengayaan yang dilakukan oleh peserta didik tersebut terhadap materi pembelajaran. Jurnal belajar di tingkat yang lebih tinggi, SMP ke atas, jurnal belajar ada kemungkinan diisi dengan gagasan, pemikiran atau hasil kajian teoritis oleh peserta didik baik individu maupun kelompok. Satu hal yang penting diperhatikan oleh guru ketika peserta didik menulis jurnal adalah jangan sampai ada peserta didik mencontoh yang ditulis oleh temannya, yang dilakukan hanya karena memenuhi permintaan guru, tanpa tahu maknanya untuk apa.

Jurnal belajar diharapkan menjadi wadah dalam pengembangan kualitas pendidikan, khususnya di bidang pembelajaran.Pendidik dan tenaga kependididkan diharapkan berpartisipasi untuk mengisi dan memperbarui materi keilmuan yang diajarkan dan cara-cara mengajarkannya.Bahkan guru pemula dapat menjadikan jurnal tersebut sebagai rujukan pemutakhiran metode pembelajaran dan materi yang diajarkan. Peserta didik yang berada di kota besar, sekarang ini sudah dengan mudah dapat mengakses pengetahuan melalui internet, yang kemungkinan membuat pendidik dan tenaga kependidikan semakin tertinggal, apabila gurunya hanya mengandalkan sumber belajar yang konvensional. Selain itu, meningkatkan minat baca dan menulis bukan hanya kewajiban bagi peserta didik, akan tetapi merupakan kewajiban bagi pendidik dan tenaga kependidikan. Proses pembelajaran di sekolah tidak akan dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kalau guru-gurunya tidak terbiasa membaca. Pendidik dan tenaga kependidikan tidak mungkin dapat menulis karya tulis ilmiah atau artikel populer yang baik tanpa banyak membaca.Menulis dan membaca adalah pintu gerbang utama mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Penulisan jurnal belajar peserta didik dimaksudkan untuk pengembangan keterampilan dan pembiasaan mengekspresikan hasil refleksi peserta didik terhadap pembelajaran.Komentar peserta didik tentang isi, metode, sikap guru, pemahaman terhadap materi maupun bagian yang tidak dimengerti.Selain itu, peserta didik dapat menuliskan ketertarikan, hasil belajar dari sumber lain, hasil penelitian atau “eksperimen” yang dilakukan baik individu maupun kelompok.Membantu peserta didik terbiasa menulis di jurnal belajar, terbiasa memanfaatkan jurnal belajar sebagai media komunikasi untuk guru maupun rekan-rekannya.Jurnal belajar yang ditulis oleh peserta didik dapat berdasarkan pengalaman belajar, hasil kajian atau penelitian atau data yang diperoleh peserta didik tersebut baik di dalam sekolah maupun di luar sekolah.Penggunaan jurnal belajar diharapkan tidak bisa lepas dari membangun budaya, kebiasaan-kebiasaan menulis untuk mengisi secara terus-menerus khazanah keilmuan dalam bidang pembelajaran.

Jurnal belajar diprediksi memberikan kontribusi positif dalam pengembangan disiplin akademik di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. Pengelolaan atau penggunaan jurnal belajar peserta didik pada pendidikan dasar menghadapi problematika tersendiri. Akan tetapi, jika diberdayakan dan dimanfaatkan dengan baik niscaya akan memberikan hasil yang luar biasa terutama dalam pembiasaan menulis secara efektif. Guru-guru di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama harus berpengalaman dalam menggunakan jurnal belajar sebagai sarana dalam membelajarkan peserta didik.

3. Keuntungan Jurnal Belajar

Yang paling diuntungkan kalau Jurnal belajar diterbitkan tentu peserta didik. Kenyataan menunjukkan, bahwa jika peserta didik memelihara rekaman tentang apa yang diajarkan dan bagaimana materi itu diajarkan, ini merupakan penunjang untuk tetap mengingatnya di dalam kepala, ada pepatah orang tua yang mengatakan "sebenarnya peserta didik belum tahu apa-apa sampai peserta didik tersebut dapat menuliskannya dan beberapa hasil penelitian telah membukti bahwa ungkapan tersebut benar. Mengatakan apa yang telah diajarkan, peserta didik dapat menelusuri apa saja kemajuan yang telah didapatkan atau dilakukan.

4. Komponen Jurnal belajar

Komponen jurnal belajar dapat meliputibutir-butir yang ditemukan, khususnya materi yang menarik dari yang dibaca peserta didik dan tertarik untuk ditindaklanjuti lebih detail. Pertanyaan yang muncul di benak peserta didik yang berkaitan dengan materi yang dibaca pada topik tertentu (bahan ajar). Catatan tersebut dapat diambil dari materi lain yang dibaca, yang dikutip dari buku atau materi yang berkaitan, seperti artikel dalam surat kabar. Catatan apa saja yang berkaitan dengan pokok bahasan, komentar peserta didik dalam bentuk satu atau dua kalimat terhadap pokok bahasan artikel yang ditemukan/dibaca yang berkaitan dengan materi pengajaran. Refleksi peserta didik terhadap materi dan kaitannya dengan kebutuhan peserta didik tersebut pada saat mengajar. Bagaimana guru mengajarkan materi tersebut dan dikaitkan dengan apa yang diajarkan dengan cara yang berbeda.Pemikiran peserta didik yang belum sepenuhnya terwujud tetapi peserta didik harus merumuskan kembali. Ini bisa meliputi perasaan peserta didik tentang materi dan perkembangan dan teori yang dikembangkan dalam pikiran peserta didik tersebut.( Anonim.2010.Pembelajaran Mandiri ‘Learning Journal’ kegiatan BERMUTU 2010.(Online), (http://mmursyidpw.wordpress.com/2010/09/21/jurnal-belajar-learning-journal-sebagai-salah-satu-upaya-meningkatkan-hasil-belajar-siswa.html, diakses 9 Februari 2012).

5. Jenis- Jenis Jurnal Belajar

Jurnal belajar ada 2 macam yaitu jurnal belajar guru dan jurnal belajar siswa.

a. Jurnal belajar siswa

Merupakan jurnal belajar yang diisi siswa dan merupakan pendapat atau sudut pandang siswa tentang proses belajar mengajar yang terjadi di kelas.Sedangkan jurnal belajar guru merupakan sudut pandang guru tentang pembelajaran yang sedang berlangsung.

Adapun isi jurnal belajar siswa antara lain sebagai berikut.

1) Pengalaman belajar

2) Materi yang sudah dipahami

3) Materi yang belum dipahami dan alasannya

4) Usaha untuk mengatasi poin 3

5) Upaya pengayaan

Adapun bentuk penerbitan jurnal belajar siswa adalah sebagai berikut.

1) Dalam bentuk blocknote, spasi 1,5 ukuran kertas A4

2) Dalam bentuk bundel / dijilid

3) Dalam bentuk print out

Adapun cara menulis jurnal siswa adalah sebagai berikut.

1) Berdasarkan pengalaman nyata pada saat pmbelajaran

2) Ditulis langsung oleh siswa tanpa diarahkan

b. Jurnal belajar Guru

Adapun isi jurnal mengajar guru antara lain sebagai berikut.

1) Pengalaman mengajar guru

2) Materi yang telah disampaikan

3) Materi yang sulit untuk disampaikan ke siswa dan atau sulit diterima siswa

4) Usaha mengatasi masalah di atas

5) Pengayaan yang perlu dilakukan

Adapun cara menulis jurnal mengajar guru adalah sebagai berikut.

1) Jurnal ditulis berdasarkan pengalaman guru mengajar saat itu

2) Ditulis oleh guru sesaat setelah pembelajaran

( Anonim.JurnalBelajar. 2012. (Online), (http:// http://suzimuhyi.wordpress.com, diakses 12 Februari 2012).

D. Hasil Belajar

1. Pembelajaran Konstruktivisme

Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”.

Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya.

Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.

Ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu :

a. Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya

b. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia

c. Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman

d. Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain

e. Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)

Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme (Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah:

a. Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;

b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,

c. Peserta didik aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,

d. Pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.

Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Proses belajar memiliki ciri sebagai berikut (Fosnot, 1989: 19-20;34-40):

a. Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek.

b. Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.

c. Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru.

d. Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.

e. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.

f. Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.

g. Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik: konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari.

2. Pengertian Hasil Belajar

Thursan Hakim (2000:1) mengemukakan bahwa “belajar adalah suatu proses perubahan di dalam kepribadian manusia, dan perubahan tersebut ditampakkan dalam bentuk peningkatan kualitas dan kuantitas tingkah laku seperti peningkatan kecakapan, pengetahuan, sikap, kebiasaan, pemahaman, keterampilan, dan daya pikir”. Menurut teori konstruktivistik, belajar merupakan suatu tindakan dan perilaku siswa yang sangat kompleks dalam mencari dan menerima suatu ilmu pengetahuan (Asih, 2005).

Hasil belajar menurut teori konstruktivistik merupakan hasil penyusunan pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman konkrit, aktivitas kolaboratif, dan refleksi, serta interpretasi (Akhmad, 2008).Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman subjek belajar dengan dunia fisik dan lingkungannya. Keberhasilan belajar dapat ditinjau dari segi proses dan dari segi hasil. Keberhasilan dari segi hasil dengan mengasumsikan bahwa proses belajar yang optimal memungkinkan hasil belajar yang optimal pula. Sedangkan menurut Dimyati (2002:201) hasil belajar adalah hasil yang telah diperoleh siswa berdasarkan pengalaman-pengalaman atau latihan-latihan yang diikutinya selama pembelajaran.

Penilaian hasil belajar dalam pembelajaran kontruktivistik dilakukan selama pembelajaran berlangsung. Jika pembelajaran dipandang sebagai prosespengkonstruksian pengalaman belajar, maka penilaian dalam proses belajar hendaknya didesainagar mampu mengoptimalisasikan serta menggambarkan interaksi antara pembelajardengan pengalaman belajar yang dikonstruksinya itu. Salah satu penilaian yang dapat digunakan adalah penilaian portofolio.

3. Pengukuran Hasil Belajar

Pengertian evaluasi menurut Arikunto (2008: 2) adalah “mengukur dan menilai”.Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran dimana pengukuran bersifat kuantitatif, sedangkan menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk dimana menilai bersifat kualitatif (Arikunto, 2008: 3).

Berdasarkan taksonomi, tujuan pendidikan yang dikembangkan oleh Benjamin S. Bloom (Arikunto, 2007: 117) meliputi kognitif, afektif, dan psikomotorik.Ketiga ranah tersebut menjadi obyek penilaian hasil belajar. Diantara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai olehpara guru karena berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai isi bahan pelajaran (Sudjana, 2001:23).Hasil belajar yang diukur dalam penelitian ini mencakup satu ranah tersebut.

Pengukuran hasil belajar dalam pembelajaran kooperatif dilakukan pada awal pelajaran sebagai prates, selama pembelajaran, serta hasil akhir belajar siswa, baik individu maupun kelompok. Selama proses belajar, evaluasi dilakukan dengan mengamati sikap, ketrampilan, kemampuan berpikir, dan berkomunikasi siswa. Kesungguhan mengerjakan tugas, hasil eksplorasi, kemampuan berpikir kritis dan logis dalam memberikan pandangan atau argumentasi, kemauan untuk bekerja sama dan memikul tanggung jawab bersama, merupakan contoh aspek-aspek yang dapat dinilai selama proses pembelajaran berlangsung. Sedangkan prosedur evaluasi dalam pembelajaran kooperatif meliputi (Depdiknas, 2007):

a. Penilaian individu

Adalah evaluasi terhadap tingkat pemahaman siswa terhadap materi yang dikaji, meliputi ranah kognitif, afektif, dan ketrampilan.

b. Penilaian kelompok

Meliputi berbagai indikator keberhasilan kelompok seperti, kekompakan, pengambilan keputusan, kerjasama, dan sebagainya.

Kegiatan berkelompok memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk mengikuti tes.Kemudian, masing-masing mengerjakan tes secara individu dan menerima nilai individu.Kriteria penilaian dapat disepakati bersama pada waktu orientasi.Kriteria ini diperlukan sebagai pedoman guru dan siswa dalam upaya mencapai keberhasilam belajar, apakah sudah sesuai dengan kompetensi yang telah ditentukan.

Menurut Van der Kley (Sunaryanto, 1998: 165) ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menilai hasil belajar siswa dalam belajar kooperatif yaitu:

a. Setiap anggota kelompok mendapatkan nilai yang sama dengan nilai kelompok.

b. Setiap siswa diberi tugas atau tes perorangan setelah kegiatan belajar kooperatif berakhir.

c. Seorang siswa atas nama kelompoknya bisa dipilih secara acak untuk menjelaskan pemecahan materi tugas.

d. Nilai setiap anggota kelompok ditulis dan dibagi untuk mendapatkan nilai rata-rata kelompok.

Nilai kelompok bisa dibentuk dengan beberapa cara, diantaranya yaitu (Lie, 2004):

a. Nilai kelompok bisa diambil dari nilai terendah yang didapat oleh siswa dalam kelompok.

b. Nilai kelompok bisa diambil dari rata-rata nilai semua anggota kelompok.

c. Nilai kelompok bisa diambil dari sumbangan poin setiap anggota.

4. Penilaian Proses Belajar Mengajar

Menurut Nana Sudjana (Sudjana, 1989), penilaian proses belajar mengajar memiliki beberapa kriteria, yaitu:

a. Konsistensi kegiatan belajar-mengajar dengan kurikulum.

b. Keterlaksanaannya oleh guru.

c. Keterlaksanaannya oleh siswa.

d. Motivasi belajar siswa.

e. Keaktifan siswa dalam kegiatan belajar.

f. Interaksi guru-siswa/siswa-siswa.

g. Kemampuan atau keterampilan guru dalam mengajar.

h. Kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa.

5. Belajar Tuntas

Menurut Usman (Usman, 1993: 96), belajar tuntas adalah pencapaian taraf penguasaan minimal yang ditetapkan untuk setiap unit bahan pelajaran baik secara perseorangan maupun kelompok. “Keberhasilan atau ketuntasan proses belajar dapat dilihat dari jumlah peserta didik yang mampu menyelesaikan atau mencapai minimal nilai 65, sekurang-kurangnya 85% dari jumlah peserta didik yang ada di kelas tersebut” (Mulyasa, 2003: 99). Apabila proses belajar mengajar belum mencapai ketuntasan, maka diadakan program perbaikan.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Secara garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar sis­wa, yaitu faktor intern dan faktor ekstern (Dimyati, 1994: 276).

a. Faktor internal

Faktor intern adalah segala faktor yang bersumber dari dalam diri indi­vidu, yang termasuk faktor intern antara lain faktor fisiologis dan faktor psikologis.

b. Faktor eksternal

Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari luar individu.Faktor ekstern meliputi faktor lingkungan dan faktor instrumental.

7. Keterkaitan Metakognitif dan Hasil Belajar

Menurut Marzano dalam Pierce (2003) semakin sering siswa sadar tentang proses berpikirnya saat belajar, maka semakin mereka mampu mengontrol hal-hal seperti tujuan, motivasi dan perhatian. Jika siswa menyadari komitmen dan perhatiannya untuk belajar, maka siswa tersebut tidak akan melupakan untuk mengerjakan suatu tugas. Kesadaran untuk belajar dalam hal ini pada dasarnya akan mendorong pengaturan diri secara mandiri. Scruggs dan Bakley (1990) dalam Nurmaliah (2009) menjelaskan bahwa penggunaan strategi metakognitif diikuti dengan peningkatan hasil belajar, serta mengajar strategi metakognitif akan bermanfaat bila digunakan dan dikembangkan secara bertahap. Strategi metakognitif digunakan untuk mengontrol aktivitas kognitif pebelajar serta untuk menjamin tujuan kognitif yang telah dicapai.Jadi, dalam metakognitif ada unsur melakukan refleksi dan evaluasi.Strategi kognitif dapat membantu mencapai tujuan, sedangkan dengan strategi kemampuan metakognitif dapat memonitor kemajuan yang telah dicapai.Pemantauan ini sangat membantu siswa dalam aktivitas belajarnya.

Menurut Abdurrahman (1999) prestasi akademik banyak terkait dengan kemampuan memori dan keterampilan metakognitif. Keterampilan metakognitif merupakan pemahaman proses kognisinya sendiri dan kemampuan memantau strategi yang digunakan saat mempelajari suatu tugas. Hasil penelitian Coutinho (2006) menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebutuhan kognisi dan keterampilan metakognitif.Siswa yang memiliki keinginan kuat untuk mengerti dan memahami, menggunakan keterampilan metakognitif yang kuat untuk mencapai tujuan tersebut.

Krathwohl dan Anderson (2007) mengungkapkan tingkat kognitif terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi pengetahuan dan dimensi proses. Dimensi pengetahuan terdiri dari pengetahuan faktual, pengetahuan konseptual, pengetahuan prosedural dan pengetahuan metakognitif.Pengetahuan metakognitif meliputi pengetahuan strategi, pengetahuan tentang tugas kognitif dan pengetahuan diri. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa pengetahuan metakognitif adalah pengetahuan yang harus diajarkan pada siswa sehingga mereka dapat mempunyai keterampilan untuk menggunakan strategi belajar untuk melaksanakan berbagai tugas dalam proses pembelajaran.

Menurut Imel (2002) metakognitif sangat diperlukan untuk kesuksesan belajar, mengingat metakognisi memungkinkan siswa mampu mengelola kecakapan kognisi dan mampu melihat (menemukan) kelemahan yang akan diperbaiki dengan kecakapan kognisi berikutnya. During dkk (2005; dan Kruger dkk, 1995, dalam Coutinho, 2007) menyimpulkan bahwa metakognisi sangat penting dalam proses pembelajaran dan merupakan prediktor yang kuat untuk berhasil dalam studi.

Hasil belajar dapat dicapai dengan efektif apabila guru mengajarkan kepada siswa keterampilan metakognitif yang meliputi kesadaran, merancang, memonitor dan merevisi kerja mereka sendiri serta menganalisis prestasi belajarnya; menjadi pelajar yang mampu menyelesaikan masalah secara mandiri dan bertanggung jawab. Berdasarkan hal tersebut maka guru akan terfokus untuk mengembangkan: (1) kemampuan siswa untuk memahami materi; (2) kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah; dan (3) keyakinan siswa dalam kemampuan pemecahan masalahnya. Akhirnya, apabila siswa menyadari proses yang mereka gunakan dan apabila mereka belajar untuk kontrol proses kognitif ini, kemampuan mereka untuk transfer keterampilan pemecahan masalah meningkat (Brown dkk, 1984; Perkins, 1984, 1985, 1986; Resnick, 1985; Weinert dan Kluwe, 1987; dalam Jacob, 2000).

Menurut Coutinho (2007) terdapat hubungan positif antara prestasi belajar dengan metakognisi. Prestsai belajar siswa yang meiliki tingkat metakognisi tinggi akan lebih baik jika dibandingkan dengan siswa yang memiliki tingkat metakognisi rendah. Siswa yang memiliki prestasi akademik rendah dapat diperbaiki melalui latihan metakognisi.Gambaran hubungan antara prestasi akademik dengan metakognisi dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Mastery Goals

Performance Goals

Metacognition

Academic Success


Gambar 2.5. Hubungan antara metakognisi dan prestasi akademik (Sumber: Coutinho, 2007:41)

Arends (2004) dalam Basith (2010: 20) dalam mengungkapkan bahwa keterampilan metakognitif adalah kemampuan dalam mengetahui dan memonitor proses berpikir atau proses kognitif sendiri. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2002) dalam Basith (2010: 20) menjelaskan bahwa penilaian hasil belajar meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami secara teoritis bahwa keterampilan metakognitif adalah kemampuan dalam mengetahui dan memonitor proses berpikir yang berpengaruh terhadap hasil belajar.

Teori tentang hubungan metakognisi dengan prestasi akademik ini dapat dipakai untuk menjelaskan hubungan kesadaran metakognitif siswa dengan bagaimana siswa melaksanakan tugas untuk mencapai tujuan belajarnya. Kesadaran metakognitif (paham tentang tugas, paham tentang bagaimana melaksanakan tugas, mampu untuk memonitor pelaksanaan tugas) akan meningkatkan motivasi dan rasa percaya diri untuk melaksanakan tugas yang akan dilakukannya. Kemampuan metakognitif harus didukung oleh kemampuan kognitif, berarti siswa yang berkemampuan kognitif baik, akan lebih mudah mengembangkan kemampuan metakognitifnya (Livingston; Gay, 2002, dalam Nurmaliah, 2009). Kemampuan metakognitif memacu pembentukan pemikiran planning, monitoring dan evaluatingi sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.

Hasil penelitian para ahli psikologi kognitif (Djiwandono, 2006) dalam Basith (2010:21) tentang perbedaan antara siswa yang kurang pandai dan lebih menunjukkan bahwa kemampuan metakognitif adalah sangat penting.Kemampuan metakognitif siswa dapat diberdayakan melalui strategi-strategi pembelajaran di sekolah.Kemampuan metakognitif untuk memonitor hasil belajar siswa sendiri dengan menggunakan strategi tertentu, agar belajar dan mengingat dapat berkembnag. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat diketahui bahwa ketika seorang siswa telah mampu menggunakan strategi tertentu dalam mengembangkan kemapuan belajar dan mengingat maka akan meningkatkan hasil belajar siswa itu.

Imel (2002) menyatakan bahwa setiap hari orang akan berpikir metakognisi yaitu sadar dan kemudian memonitor perkembangan belajar. Sekalipun saling terkait namun metakognisi berbeda dari kognisi.Kognisi merupakan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu tugas, sedangkan metakognisi merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana tugas tersebut dilaksanakan.Orang dewasa yang sukses dalam belajarnya menerapkan metakognisi, demikian juga jika siswa dilatih metakognisi maka cenderung menggunakan keterampilan tersebut pada situasi yang baru.

E. Silabus

Silabus adalah rencana pembelajaran pada suatu atau kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, indikator, penilaian, alokasi waktu, dan sumber/bahan/alat belajar.Silabus merupakan penjabaran standar kompetensi dan kompetensi dasar ke dalam materi pokok/pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan indikator pencapaian kompetensi untuk penilaian (BSNP, 2006: 14).

Silabus pada dasarnya merupakan program yang bersifat makro yang harus dijabarkan lagi ke dalam program-program pembelajaran yang lebih rinci, yaitu rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP).Silabus merupakan program yang dilaksanakan untuk jangka waktu yang cukup panjang (satu semester), menjadi acuan dalam mengembangkan RPP yang merupakan program untuk jangka waktu yang lebih singkat.

Langkah-Langkah Pengembangan Silabus (BSNP, 2006: 15) adalah sebagai berikut: (1)Mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, (2)Mengidentifikasi Materi Pokok/Pembelajaran, (3) Mengembangkan Kegiatan Pembelajaran, (4)Merumuskan Indikator Pencapaian Kompetensi, (5)Penentuan Jenis Penilaian, (6) Menentukan Alokasi Waktu, (7) Menentukan Sumber Belajar.

F. RPP

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) adalah rencana yang menggambarkan prosedur dan pengorganisasian pembelajaran untuk mencapai satu kompetensi dasar yang ditetapkan dalam Standar Isi dan dijabarkan dalam silabus.Lingkup Rencana Pelaksanaan Pembelajaran paling luas mencakup 1 (satu) kompetensi dasar yang terdiri atas 1 (satu) indikator atau beberapa indikator untuk 1 (satu) kali pertemuan atau lebih.Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sekurang-kurangnya memuat tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 20: “Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar”. Komponen penyusunan RPP terdiri dari (1) Kolom Identitas Mata Pelajaran, (2) Standar Kompetensi, (3) Kompetensi Dasar, (4) Indikator Pencapaian Kompetensi, (5) Tujuan Pembelajaran, (6) Materi Ajar (Materi Pokok), (7) Materi/Kompetensi Prasyarat, (8) Alokasi Waktu, (9) Metode Pembelajaran, (10) Kegiatan Pembelajaran, (11) Sumber Belajar, (12) Penilaian.

G. Penelitian Yang Relevan

1. Penelitian yang berjudul “ Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) dengan Tugas Menulis Jurnal Belajar untuk Meningkatkan motivasi, keterampilan Metakognitif dan Hasil Belajar IPA Siswa kelas VIII C SMP Negeri 1 Blitar”. Dilakukan oleh Juli Setyanto tahun 2011.

2. Penelitian yang berjudul “Penerapan Jurnal Belajar Untuk Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika Siswa SMP Islam Diponegoro Malang”. Dilakukan oleh Verawati Puji Rahayu.

3. Penelitian yang berjudul “Penerapan Jurnal Matematika Sebaga Assesmen Alternatif Pada Pembelajaran Garis Dan Sudut Untk Siswa Kelas VII SMP 3 Malang”. Dilakukan oleh Nani Kusrokhani tahun 2006.

4. Penelitian yang berjudul “Pengaruh Penggunaan Jurnal Belajar dalam Pembelajaran Multistrategi terhadap Kemampuan Kognitif dan Metakognitif Siswa SMA Negeri 9 Malang” . Dilakukan oleh M. Sabilu tahun 2007.

5. Penelitian yang berjudul “Penggunaan Jurnal Belajar Dalam Pembelajaran Biologi Model Rancangan Alat Untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri Kebakkramat.Dilakukuan oleh Dyah Puspita Damayanti tahun 2009 dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

6. Penelitian yang berjudul “Perbedaan Metakognitif Siswa PadaPelajaranTeknologi Informasi Dan Komunikasi (TIK)Melalui Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair Share Dengan Metode Resitasikelas VIII SMP Negeri 4 Malang”. Dilakukan oleh Rika Miliyana tahun 2011.

7. Penelitian yang berjudulPengaruh Penerapan Jurnal Belajar Terhadap Motivasi Belajar Siswa SMK Negeri 1 Udanawu Blitar”.Dilakukan oleh M. Fariz Aris.